Pak Kusrin dan Televisi Rakitan, Ketika Regulasi Tak Ramah pada Inovasi Rakyat Kecil

banner 468x60

Solo, Realita.Online – Kamis (10 Juli 2025), Sebuah bengkel kecil di sudut kampung menjadi saksi bisu perjuangan Kusrin (42), seorang pria lulusan SD yang merakit televisi dari barang bekas untuk menghidupi keluarganya. Tapi siapa sangka, kerja keras itu justru membawanya berhadapan dengan aparat hukum dan menjadi korban kekakuan regulasi negara.

Pada 2015, Kusrin ditangkap oleh petugas Balai Besar Pengawasan dan Sertifikasi Mutu Barang (BBPSMB). Alasannya : televisi yang ia rakit dari limbah elektronik tidak memiliki sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI). Sebanyak 63 unit TV hasil rakitan disita. Usahanya dihentikan, dan namanya tercemar seolah pelaku usaha ilegal.

“Saya hanya ingin mencari nafkah. TV-TV itu bukan untuk menipu orang. Semuanya berfungsi baik, dan pembelinya tahu itu TV rakitan,” ujar Kusrin dalam wawancara kala itu, suaranya bergetar menahan kecewa.

Baca Juga :  Dalami Kasus Sebelumnya, Sat Narkoba Polres Pelabuhan Belawan Tangkap Pengedar Shabu di Jalan Haji Anif

Regulasi Tak Kenal Ruang Empati
Kasus Kusrin menyentil hati nurani publik. Di satu sisi, negara sedang gencar mendorong wirausaha dan ekonomi kreatif. Namun di sisi lain, wirausahawan kecil seperti Kusrin justru dijerat oleh regulasi formalistik yang tak mengenal konteks.

Pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen menuntut bahwa semua produk elektronik wajib bersertifikasi SNI. Namun proses memperoleh sertifikasi itu sendiri memerlukan biaya besar, pengujian laboratorium, dan prosedur administratif yang mustahil dipenuhi oleh usaha ultra-mikro seperti milik Kusrin.

Tak ada ruang kompromi. Regulasi berlaku sama antara konglomerat dan tukang servis kampung.

Dari Tersangka Menjadi Simbol
Sorotan media dan simpati masyarakat membalikkan nasib Kusrin. Pemerintah akhirnya turun tangan. Ia difasilitasi untuk mendapatkan sertifikasi resmi melalui Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro). Dan pada awal 2016, ia diundang langsung ke Istana Negara untuk bertemu Presiden Joko Widodo.

Baca Juga :  Terbongkar! Tambang Emas Ilegal Capkala Gunakan Eksafator Pengakuan Pelaku Mengejutkan

Kusrin datang mengenakan pakaian kerja bengkel. Di tangan Presiden, ia menyerahkan TV hasil rakitan sendiri—sebuah simbol bahwa inovasi rakyat kecil bukan untuk dimusuhi, tapi didampingi.

“Pak Kusrin ini contoh. Jangan semua dipersulit. Justru harus dibantu,” ujar Presiden kala itu, menegaskan pentingnya regulasi yang berpihak.

Lebih Dari Sekadar Televisi
Kisah Kusrin bukan sekadar tentang televisi rakitan. Ini tentang kesenjangan antara hukum dan keadilan, antara semangat berinovasi dan sistem yang kaku. Tentang bagaimana negara sering kali lambat merespons kebutuhan masyarakat kecil yang ingin maju.

Baca Juga :  Kajati Jawa Barat Kunjungi Kejari Bekasi: Tinjau Kinerja, Tekankan Integritas, dan Beri Bantuan Pega

Kini, Kusrin tetap merakit TV, tapi ia juga menjadi pembicara dalam berbagai pelatihan teknis. Namanya menjadi inspirasi, tapi juga pengingat : regulasi harus manusiawi.

“Kalau dulu saya dianggap melanggar hukum, sekarang saya diminta mengajar orang lain cara merakit TV. Hidup memang kadang lucu,” ujar Kusrin, tersenyum.

Catatan Redaksi :
Kisah Pak Kusrin mengajarkan bahwa keadilan bukan hanya soal kepatuhan pada aturan, tapi juga soal keberpihakan pada niat baik, inovasi, dan perjuangan hidup. Sudah saatnya regulasi dibuat lentur terhadap rakyat kecil, tanpa mengorbankan keselamatan dan kualitas. Negara semestinya hadir, bukan hanya sebagai pengatur, tapi juga sebagai pendamping dan pelindung.

Pos terkait