Proyek Geothermal Mulai Jalan : Apa Implikasinya ke Tagihan Listrik dan Hak Warga Adat?

banner 468x60

Jakarta, Realita.OnLine – Selasa (8 Juli 2025), Pemerintah resmi memulai pembangunan lima proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang dikelola oleh PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) melalui anak usahanya. Langkah ini merupakan bagian dari komitmen Indonesia dalam mendorong transisi energi bersih dan mengurangi ketergantungan pada batu bara.

Presiden RI Prabowo Subianto secara simbolis meresmikan pembangunan proyek pada Senin (7/7). Total kapasitas yang akan ditambahkan mencapai 500 megawatt (MW), dan tersebar di sejumlah titik potensial energi panas bumi, termasuk di wilayah Sumatera Barat, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tengah.

Namun di balik optimisme ini, muncul pertanyaan publik :
Apakah proyek geothermal ini benar-benar menurunkan tarif listrik ? Dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat adat dan lingkungan sekitar proyek ?

“Energi Hijau, Tagihan Ikut Ringan ?”
Direktur Utama BREN, Agus Salim Arifin, menegaskan bahwa pengembangan panas bumi adalah investasi jangka panjang yang bukan hanya ramah lingkungan, tetapi juga ekonomis.

Baca Juga :  Kapolri Resmi Lantik Komjen Dedi Prasetyo Jadi Wakapolri

“Biaya produksi listrik dari panas bumi jauh lebih stabil dibanding batu bara. Dalam jangka panjang, ini akan membantu menekan Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik nasional,” kata Agus dalam konferensi pers usai peresmian proyek.

Namun, ia juga mengakui bahwa dampaknya terhadap tarif listrik masyarakat umum tidak akan terasa dalam waktu dekat, karena masih bergantung pada skema subsidi dan kebijakan PLN.

Sementara itu, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dr. Eniya Listiani Dewi, menyatakan bahwa proyek ini adalah bagian dari target 23% bauran energi terbarukan pada tahun 2027.

“Geothermal adalah kunci untuk menyediakan energi bersih yang tidak bergantung pada cuaca seperti PLTS atau PLTA. Kami dorong agar setiap proyek dilaksanakan dengan prinsip keberlanjutan dan keterbukaan,” ujarnya.

Baca Juga :  Gempa Magnitudo 4,6 Guncang Sragen, Warga Diimbau Tetap Tenang dan Waspada

Dampak Sosial dan Lingkungan :
Suara Warga Adat Mulai Terdengar
Sejumlah proyek panas bumi diketahui berada di sekitar wilayah adat dan kawasan hutan lindung. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan pelanggaran hak atas tanah dan budaya.

Koordinator Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Timur, Yulius Tado, menegaskan pentingnya skema Free, Prior and Informed Consent (FPIC).

“Kami temukan sejumlah proyek yang sosialisasinya hanya dilakukan formalitas kepada kepala desa. Padahal seharusnya ada konsultasi utuh kepada komunitas adat secara menyeluruh,” tegas Yulius.

Pakar Hukum Geothermal :
“Perlu Pengawasan Independen dan Kompensasi Sosial”
Pakar hukum Geothermal dari Universitas Borobudur, Dr. I Made Subagio, S.H., M.H., sekaligus ketua umum perkumpulan pakar hukum nusantara mengatakan proyek-proyek energi hijau jangan sampai mengulang pola eksploitatif era sebelumnya.

“Transisi energi harus disertai perlindungan hukum bagi masyarakat sekitar, terutama yang terdampak langsung. Negara wajib hadir menjamin kompensasi dan pelibatan warga sejak awal,” ujarnya.

Baca Juga :  Oknum Teror Media Usai Berita Judi Sabung Ayam di Putussibau Utara, Aparat Diminta Tindak Tegas Pelaku dan Bandarnya

Ia juga mendorong pembentukan unit pengawas independen lintas sektor—terdiri dari akademisi, pemerintah daerah, LSM, dan perwakilan masyarakat adat—untuk memantau proyek-proyek panas bumi yang berisiko menimbulkan konflik agraria.

Transparansi dan Keberlanjutan :
Ujian Bagi Pemerintah dan Korporasi
Kementerian ESDM sendiri menjanjikan bahwa seluruh proyek akan tunduk pada prinsip ESG (Environmental, Social, Governance), serta mewajibkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan keterlibatan publik.

Namun tantangan ke depan tetap besar :
mulai dari soal redistribusi manfaat, kompensasi, pengawasan ketat, hingga integrasi energi panas bumi ke dalam sistem kelistrikan nasional.

Sebagai negara dengan potensi panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, Indonesia berada di titik penting :
akankah energi hijau ini benar-benar membawa keadilan sosial dan ekonomi ?
Atau hanya jadi pengulangan pola ekstraksi lama dengan baju baru ?

Pos terkait