Pengamat: Antrean BBM di Kalbar Cerminkan Kegagalan Kebijakan dan Lemahnya Pengawasan !!!

Sumber: Pengamat Hukum & Kebijakan Publik, Dr.Herman Hofi Munawar
banner 468x60

Pontianak, Kalbar
Antrean panjang bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi hampir di seluruh Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Kalimantan Barat dinilai bukan sekadar persoalan teknis distribusi, melainkan cerminan kegagalan kebijakan publik (policy failure) dan lemahnya sistem pengawasan secara struktural.

Hal itu disampaikan oleh Dr. Herman Hofi Munawar, SH, pengamat kebijakan publik, dalam keterangannya kepada media pada Rabu, 24 Desember 2025.

Bacaan Lainnya

“Jika antrean terjadi bertahun-tahun dan di lokasi yang sama, itu berarti perencanaan kuota tidak pernah benar-benar berbasis pada data kebutuhan riil. Ini adalah bentuk kegagalan kebijakan yang nyata,” ujar Dr. Herman.

Baca Juga :  Rokok HELIUM Ilegal Banjiri Kalimantan Barat, Negara Rugi Miliaran

QR Code Dinilai Tidak Efektif
Menurut Dr. Herman, penerapan sistem QR Code yang digadang-gadang sebagai solusi pengendalian distribusi BBM bersubsidi juga terbukti belum efektif menutup celah penyalahgunaan.

“Kalau antrean tetap panjang meski QR Code sudah diterapkan, maka sistemnya memang masih bisa diakali atau terjadi pembiaran di tingkat operator SPBU terhadap praktik penyalahgunaan identitas digital,” katanya.

Lemahnya Sense of Crisis Regulator
Ia juga menyoroti sikap regulator dan operator distribusi yang dinilai belum menunjukkan sense of crisis atas persoalan ini.

“Ketika masalah ini dibiarkan menahun tanpa langkah luar biasa, itu menunjukkan ada kegagalan respons kebijakan. Dalam teori kebijakan publik, ini sering dikaitkan dengan regulatory capture, ketika pengawas menjadi terlalu dekat dengan pihak yang diawasi,” jelasnya.

Potensi Pelanggaran Hukum Terjadi Terbuka

Secara hukum, lanjutnya, distribusi BBM bersubsidi diatur secara ketat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Cipta Kerja.

Pasal 55 mengatur bahwa penyalahgunaan pengangkutan dan/atau niaga BBM bersubsidi dapat dipidana dengan penjara maksimal enam tahun dan denda hingga Rp60 miliar.

“Jika antrean panjang truk terjadi hampir setiap hari, maka patut diduga ada penyimpangan distribusi yang terjadi secara terbuka. Ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi sudah berpotensi pidana,” tegasnya.

Dampak Ekonomi Bagi Masyarakat

Antrean hingga 12–24 jam yang dialami sopir truk dinilai berdampak langsung pada meningkatnya biaya logistik dan hilangnya jam kerja produktif, yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen melalui kenaikan harga barang.

“Kondisi ini menciptakan ekonomi biaya tinggi di Kalimantan Barat dan merupakan bentuk ketidakadilan struktural bagi masyarakat kecil,” ujarnya.

Desakan Langkah Konkret
Dr. Herman mendorong agar pemerintah dan aparat penegak hukum mengambil langkah nyata, bukan sekadar bersifat simbolik.

Ia merekomendasikan pembentukan satuan tugas permanen oleh Polda Kalbar di SPBU yang rawan penyimpangan, pemutusan hubungan usaha oleh Pertamina terhadap SPBU yang terbukti membiarkan praktik ilegal, serta audit kuota BBM bersubsidi secara independen dengan melibatkan akademisi dan auditor eksternal.

“Selama sanksi hukum tidak menyentuh aktor intelektual di balik praktik ini, maka sistem secanggih apa pun hanya akan menjadi formalitas administratif,” pungkasnya.

Sumber: Pengamat Hukum & Kebijakan Publik, Dr.Herman Hofi Munawar

Pos terkait