Hutan Adat Habis, Masyarakat Adat Terdesak: Kami Tak Punya Ruang Hidup Lagi

banner 468x60

Kubu Raya, KalbarRealita.Online // Krisis ekologis dan ketimpangan struktural semakin membelit masyarakat adat di Kalimantan Barat. Sejak tahun 1995, hilangnya hutan adat secara drastis telah memaksa masyarakat kehilangan pekerjaan, identitas, dan ruang hidup yang selama ini menjadi nadi peradaban mereka.

Adrianus Adam Tekot, tokoh adat dari Desa Sungai Nau, Kecamatan Kuala Mandor, Kabupaten Kubu Raya, menuturkan getirnya kondisi tersebut.

Dulu kami hidup dari hutan. Hari ini hutan adat kami nol. Lahan makin sempit, aturan makin menekan. Kami seperti tidak lagi punya hak untuk mengelola alam kami sendiri,” ujarnya dalam pernyataan resmi kepada media, Rabu (10/7).

Baca Juga :  “Pernahkah Anda Disogok untuk Menulis Berita?”: Pertanyaan Klasik yang Mengguncang Dunia Jurnalisme

Alih fungsi lahan besar-besaran demi ekspansi industri ekstraktif dan perkebunan sawit menjadi penyebab utama. Masyarakat adat, yang sebelumnya berperan sebagai penjaga hutan dan peladang tradisional, kini tercerabut dari akar ekonominya. Peluang bekerja di sektor formal pun terbatas, karena akses yang tidak setara dan praktik penguasaan lahan yang timpang.

Kami ditekan oleh aturan yang tidak menguntungkan petani. Mau berladang susah, mau kerja jadi kuli juga susah. Sementara tanah kami dikuasai perusahaan,” lanjut Adrianus.

Berbagai regulasi yang berlaku justru mempersempit ruang gerak masyarakat adat. Peladang tradisional di sejumlah wilayah kini hidup dalam ancaman kriminalisasi akibat aturan kehutanan yang ketat. Sementara di sisi lain, korporasi diberi keleluasaan mengeksploitasi ruang hidup masyarakat demi keuntungan ekonomi.

Baca Juga :  Masyarakat Purbolinggo Resah Ulah Oknum Broker Pinjaman Bank

Kondisi ini dinilai bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat adalah milik masyarakat adat, bukan bagian dari hutan negara. Selain itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria juga mengamanatkan keadilan penguasaan tanah.

Masyarakat adat mendesak pemerintah agar segera melakukan langkah konkret untuk merealisasikan pengakuan hutan adat, bukan hanya melalui wacana, melainkan dengan pengembalian hak-hak kelola secara nyata.

Kami tidak butuh janji. Kami butuh ruang kelola. Perusahaan harus memberi akses kembali kepada masyarakat terhadap tanah adat yang kini mereka kuasai,” tegas Adrianus.

Baca Juga :  "Cuaca Ekstrem Landa Bali hingga Gilimanuk : Hujan Lebat Disertai Angin Kencang Diprediksi Berlanjut"

Pernyataan ini menjadi sinyal keras kepada negara dan sektor swasta: pembangunan yang abai terhadap hak-hak masyarakat adat hanya akan memperparah ketimpangan sosial dan kehancuran ekologis.

Masyarakat menuntut dialog terbuka antara pemerintah, perusahaan, dan komunitas adat untuk merumuskan keadilan ekologis dan sosial yang berkelanjutan. Tanpa itu, krisis ini hanya akan memperluas jurang ketidakadilan di Tanah Borneo.

Sumber : Adrianus Adam Tekot

Tokoh adat dari Desa Sungai Nau, Kecamatan Kuala Mandor, B Kubu Raya

Pos terkait