Pontianak, Kalbar
Pihak keluarga menyatakan keberatan atas penangkapan AG yang dilakukan pada Sabtu malam, 1 Agustus 2025. Mereka menegaskan bahwa AG tidak terlibat dalam kasus yang dituduhkan dan menilai penangkapan tersebut sarat kejanggalan serta tidak sesuai dengan prosedur hukum.
Kronologi Awal: Salah Sangka Nama
Kasus ini bermula dari laporan seorang nenek berinisial SA pada 18 September 2024, sebagaimana tercatat dalam Laporan Polisi Nomor: LP/B/346/IX/2024/SPKT/Polresta Pontianak/Polda Kalbar. Dalam laporan tersebut, SA membawa cucunya untuk melaporkan dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur.
Menurut pihak keluarga AG, awalnya SA menyangka bahwa pelaku yang dimaksud cucunya adalah Asa—anak dari AG.
Hal ini dipicu oleh kemiripan nama antara Asa dan nama yang disebut korban, yaitu “CA”. Keluarga masih bisa memahami kesalahan tersebut karena SA bertindak berdasarkan pernyataan cucunya.
Namun, ketika dikonfirmasi ulang, korban dengan tegas menyatakan bahwa yang dimaksud adalah “Bang CA”, bukan “Bang Asa”. Dari sinilah, menurut keluarga, kesalahpahaman bermula dan laporan itu sempat diarahkan ke rumah AG.
Penangkapan Dinilai Janggal
Menurut keterangan keluarga, sebelum penangkapan dilakukan, polisi hanya memeriksa istri dan anak AG sejak pukul 10.00 hingga 17.00 WIB. Keduanya kemudian dipulangkan.
Namun, pada malam hari yang sama, AG ditangkap tanpa adanya surat pemanggilan sebelumnya—baik secara lisan maupun tertulis.
“Ini menunjukkan adanya prosedur yang dilompati. Penetapan tersangka seharusnya didahului oleh pemeriksaan dan pemanggilan resmi,” ujar perwakilan keluarga.
Meski surat penangkapan ditunjukkan, pihak keluarga menilai tidak ada bukti kuat yang mendasari penetapan AG sebagai tersangka.
Mereka juga menyoroti bahwa AG ditangkap secara terpisah dan tidak bersamaan dengan individu lain yang sejak awal disebut dalam laporan, yakni DFA alias CA.
Perubahan Keterangan Korban Jadi Tanda Tanya
Keluarga AG menyatakan bahwa mereka memiliki bukti berupa rekaman video saat korban menyebut dan menunjuk langsung seseorang bernama CA. Hal ini dianggap sebagai bukti bahwa korban tidak asal menyebut nama.
“Ini penting diketahui publik, bahwa korban tidak mengada-ada. Dia menyebut nama CA dan bisa menunjuk langsung orangnya,” kata salah satu anggota keluarga.
Namun dalam perkembangan penyidikan, korban kemudian mengubah keterangannya dan menyebut AG sebagai pelaku.
“Ini jadi tanda tanya besar bagi kami. Kenapa AG baru disebut belakangan, padahal dari awal yang disebut adalah CA? Selain itu, keterangan para saksi juga tidak mengarah ke AG,” lanjut perwakilan keluarga.
Pemeriksaan Saksi dan Alat Bukti Dinilai Lemah
Dalam proses penyidikan, sebanyak 11 saksi telah diperiksa, termasuk AG dan CA. Pemeriksaan juga melibatkan sejumlah ahli, yaitu:
Dr. Arie Rakhmini, Sp.KK (dokter spesialis kulit dan kelamin)
Dr. Natalia Widjaya, Sp.FM (dokter forensik)
Citra Amelia, S.Psi, M.Psi (psikolog)
Kedua pria yang diperiksa dalam kasus ini juga telah menjalani uji dengan alat pendeteksi kebohongan (lie detector).
Namun hingga kini belum ada hasil resmi dari pihak kepolisian yang diumumkan ke publik, termasuk yang dapat memperkuat tuduhan terhadap AG.
Keluarga Akan Tempuh Jalur Hukum
Pihak keluarga menyatakan telah mengumpulkan bukti yang menunjukkan bahwa AG tidak terlibat dalam kejadian yang dituduhkan.
Mereka siap menempuh jalur hukum untuk membela AG.
“Kami akan menempuh jalur hukum yang sah. AG adalah korban dari proses penyidikan yang tidak akurat. Kami percaya bahwa kebenaran dan keadilan akan terungkap,” tegas pernyataan resmi dari pihak keluarga.