Pontianak, Kalbar
Pengamat hukum dan kebijakan publik, Dr. Herman Hofi Munawar, menyoroti fenomena yang kerap terjadi di berbagai rumah sakit ketika muncul konflik antara keluarga pasien dan pihak rumah sakit. Menurutnya, akar persoalan sering kali bukan sekadar soal medis, melainkan perbedaan cara pandang antara kepanikan keluarga pasien dan penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) di rumah sakit.
“Dalam banyak kasus, konflik muncul karena keluarga pasien melihat situasi dari sisi emosional dan kemanusiaan, sementara rumah sakit berpegang pada SOP yang bersifat teknis dan legal. Padahal SOP itu sendiri mencakup dimensi hukum, etika, dan tata kelola pelayanan publik,” ujar Herman kepada wartawan, Kamis, 23 Oktober 2025
Secara hukum, kata Herman, rumah sakit dan tenaga kesehatan memiliki kewajiban memberikan pelayanan berdasarkan dua standar utama, yaitu standar profesi dan standar prosedur operasional (SPO). Standar profesi menuntut setiap tenaga medis untuk memberikan pelayanan yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab, sedangkan SPO menjadi pedoman baku yang harus diikuti secara legal guna menjamin keselamatan dan kualitas pelayanan pasien.
“Tidak boleh ada pihak manapun yang melakukan intervensi terhadap pelaksanaan SOP. Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap setiap kerugian yang timbul akibat kelalaian tenaga medis. Hal ini sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Kesehatan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Herman menekankan bahwa rumah sakit juga berkewajiban memberikan informasi yang jelas dan memadai kepada pasien maupun keluarganya, baik mengenai kondisi kesehatan, tindakan medis yang akan dilakukan, maupun potensi risiko yang mungkin timbul. Transparansi informasi ini, menurutnya, merupakan bagian dari hak dasar pasien.
“Pasien dan keluarganya berhak mendapatkan pelayanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi. Mereka juga berhak mendapatkan pelayanan yang efektif dan efisien, serta dilibatkan dalam pengambilan keputusan medis terutama bila pasien dalam kondisi tidak mampu memutuskan sendiri,” paparnya.
Apabila pelayanan yang diberikan dianggap tidak memenuhi standar atau terjadi kelalaian, pasien maupun keluarga pasien memiliki hak untuk mengajukan keluhan atau menempuh jalur hukum melalui mekanisme sengketa medik. Namun, menurut Herman, persoalan kerap membesar karena adanya miskomunikasi di tengah situasi darurat.
“Sering kali keluarga panik karena tidak mendapat penjelasan yang cukup. Akibatnya muncul kesalahpahaman terhadap prosedur medis yang dijalankan,” ujarnya.
Ia menilai, keterampilan komunikasi tenaga kesehatan dan pihak manajemen rumah sakit menjadi kunci utama dalam mencegah terjadinya konflik.
“Sesuatu yang baik, kalau disampaikan dengan cara yang salah, akan diterima secara salah pula. Karena itu, komunikasi empatik dan ramah harus menjadi budaya dalam pelayanan rumah sakit,” katanya.
Herman mengingatkan bahwa SOP bukanlah aturan kaku yang mengabaikan aspek kemanusiaan. Dalam penerapannya, SOP perlu disesuaikan dengan kondisi kedaruratan dan hak-hak pasien. Rumah sakit, tambahnya, wajib memastikan setiap tenaga medis memahami bahwa di balik setiap prosedur terdapat nilai-nilai kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi.
“Ketika terjadi konflik, sebaiknya diselesaikan dengan cara mediasi, bukan konfrontasi. Pendekatan ini jauh lebih arif dan bijaksana agar hubungan antara pasien, keluarga, dan tenaga medis tetap terjaga,” tutupnya.










