Geothermal Harus Adil dan Berbasis Hukum : Dr. I Made Subagio Soroti Risiko Konflik Sosial dan Regulasi Lemah

- Dr. I Made Subagio, SH,MH ( Ketua Umum Pakar Hukum Nusantara ) - Dr. Ella Eilvia, SH,MH ( Wakil Ketua Umum Pakar Hukum Nusantara ) - Dr. Sutanto, SH,MH ( Sekjend Pakar Hukum Nusantara )
banner 468x60

JAKARTA, Realita.OnLine – Selasa (8 Juli 2025), Di tengah gegap gempita peresmian lima proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) milik PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) senilai Rp5,9 triliun oleh Presiden Prabowo Subianto, muncul catatan tajam dari pakar hukum geothermal nasional, Dr. I Made Subagio, S.H., M.H.
Sebagai doktor hukum spesialis geothermal dan Managing Partner di Gusti Dalem Pering Law Firm, Dr. Subagio menyambut baik pembangunan proyek ini sebagai bagian dari transisi energi. Namun, ia menegaskan bahwa percepatan investasi tidak boleh mengabaikan perlindungan hukum, keadilan sosial, dan hak masyarakat adat.

“Investasi geothermal bukan semata hitungan megawatt dan miliaran dolar. Ia menyangkut hak hidup masyarakat, kelestarian lingkungan, dan kepastian hukum yang harus dijunjung tinggi,” tegasnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (6/7/2025).
Ia menyoroti bahwa proyek-proyek panas bumi kerap bersinggungan dengan kawasan hutan, tanah ulayat, dan wilayah ekologi sensitif, sehingga memerlukan perizinan yang transparan dan akuntabel.

Baca Juga :  Komisi Informasi Jawa Barat Semakin Menunjukkan Komitmennya Terhadap Keterbukaan Informasi Publik

“Proyek energi tidak boleh jadi pembenar untuk melanggar prinsip hukum lingkungan. Hak masyarakat lokal dan kelestarian alam harus tetap jadi prioritas,” ujarnya.

Regulasi Tumpang Tindih Hambat Investasi

Dr. Subagio mengapresiasi dukungan penuh Presiden sebagai bentuk komitmen terhadap transisi energi. Namun ia mengkritik regulasi yang ada sebagai “multilapis dan tumpang tindih”, yang kerap menimbulkan kebingungan hukum bagi investor maupun masyarakat.

Ia mendorong pemerintah untuk segera merevisi Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi, agar sejalan dengan UU Cipta Kerja, peraturan lingkungan hidup, dan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Baca Juga :  Pasar Cihaurgeulis Bangkit, Pemkot Bandung Dukung Pedagang Pindah Ke Gedung Baru

“Tanpa reformasi hukum geothermal yang menyeluruh, investor akan ragu masuk, masyarakat akan menolak, dan negara gagal memaksimalkan potensi besar ini,” tandasnya.

Lebih dari Energi: Geothermal Harus Jadi Pilar Ekonomi Lokal
Tak hanya soal energi, Dr. Subagio juga menekankan pentingnya pemanfaatan pasca-eksploitasi seperti agrowisata geothermal, edukasi energi terbarukan, dan eksplorasi mineral ikutan yang bernilai ekonomi tinggi.

“Kita harus ubah paradigma: geothermal bukan sekadar sumber energi, tapi juga alat pemerataan ekonomi dan pembangunan wilayah,” katanya.

Ia juga menyoroti pentingnya pengawasan ketat atas teknologi baru seperti binary cycle dan retrofitting, serta pengaturan hukum terkait transfer teknologi dan standar keselamatan operasional.
“Inovasi tanpa regulasi adalah bom waktu. Harus ada aturan tegas untuk menjamin keselamatan dan keberlanjutan,” tegasnya lagi.

Baca Juga :  Fraksi PKS Sampaikan Pandangan Umum terkait Raperda Perubahan APBD 2025

Rincian Proyek Geothermal BREN:
Salak Binary (166 MW) – USD 45,5 juta, COD Februari 2025

Wayang Windu Unit 3 (30 MW) – USD 106,3 juta, COD Desember 2026

Salak Unit 7 (40 MW) – USD 133 juta, COD Desember 2026

Retrofitting Salak 4-6 (7,2 MW) – USD 23 juta, COD Agustus 2025

Retrofitting Wayang Windu 1-2 (18,4 MW) – USD 57 juta, COD Januari 2026

Sebagai penutup, Dr. I Made Subagio mengingatkan bahwa proyek geothermal adalah “berkah energi yang rentan menjadi konflik” jika tidak dikelola dengan kepastian hukum, keberpihakan pada rakyat, dan kesadaran lingkungan.

“Geothermal adalah masa depan energi Indonesia, tapi tanpa hukum yang adil, ia bisa jadi sumber sengketa yang tak berkesudahan,” pungkasnya.

Pos terkait